Sabtu, 28 September 2013

Makna Ukhuwah Fillah (Persaudaraan Karena Allah)

Makna Ukhuwah Fillah
(Persaudaraan Karena Allah)

Ukhuwah fillah merupaka ikatan iman yang ditegakan atas dasar manhaj Allah, yang memancar (berhulu) dari rasa ketaqwaan dan bermuara kepada pengendalian yang kokoh dengan tali-Nya. (i’tisaham bi hablillah)

Ukhuwah Islamiyah merupakan tujuan suci, cahaya Rabbaniyah, sekaligus merupaka nikmat Illahiyyah. Allah Azza Wajalla menuangkan cahaya dan nikmat-Nya pada hati dari setiap hamba-hamba-Nya yang mukhlish (ikhlas), mensucikan (memurnikan) mereka dari kepemimpinan-Nya dan melindungi mereka dari akhlak-akhlak-Nya. Dialah yang mengajar mereka kejujuran, keimanan, dan kedalaman keikhlasan. Dan sesungguhnya itulah yang dinamakan kekuatan iman seseorang yang membekas pada hatinya secara mendalam dengan dipenuhi rasa cinta (mahabbah), rasa kasih sayang, dan rasa saling menghormati.  Sekaligus sebagai ikatan timbale balik diantara sesame mereka yang telah mengikatkan dirinya dengan dasar akidah Islam dan untaian keimanan dan taqwa.

Maka tidak ada persaudaraan (sejati) tanpa adanya iman dan tidak adanya iman tanpa adanya persaudaraan.

Allah Shubhana Wata’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al-Hujuraat:10)
Sebagaimana juga bahwa tidak ada ukhuwwah tanpa adanya taqwa dan taqwa tanpa adanya ukhuwwah…seperti yang difirmankan Allah Shubhana Wata’ala :
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa” (QS Az-Zukhruf:67)
Jika anda mendapati suatu persaudaraan yang dibelakangnya tidak didukung oleh keimanan maka akan anda dapati bahwa persaudaraan semacam itu tidak akan membawa kemaslahatan dan manfaat yang saling timbal balik. Begitu juga jika anda dapati keimanan (iman) yang tidak didukung oleh persaudaraan maka bisa anda simpulkan bahwa betapa rendah kadar keimanan itu yang bahkan justru mengarahkan kepada keterjerumusan.

Jiwa seseorang yang terpateri oleh iman dan jiwa yang terjalin dengan taqwa akan menimbukan ketegaran untuk mempertemukannya dengan sesama (orang-orang mukmin) berdasarkan iman dan taqwa sehingga belas kasih yang sesungguhknya dapat dirasakan pada waktu pertama sekali berjumpa walau perjumpaan itu sangat singkat dan kasih sayangnya dapat dirasakan pada awal sekali perkenalan walau hal itu berlangsung dengan cepat. Bahkan di antara mereka berdua terjalin hubungan sebagai saudara seolah-olah mereka merupakan satu jiwa (jiwa yang satu), dan hati mereka berdua akan saling menarik bagaikan hati yang satu hingga jika mahabban itu berdenyut pada urat nadi mereka berdua dan ukhuwwah mengalir melalui darah mereka berdua dan mawaddah (rasa saling memiliki) telah memancar dari wajah mereka berdua maka saudara yang satu akan menggenggam erat tangan saudara yang lainnya sebagaimana layaknya teman akrab yang saling merindukan, saling mengasihi, berjalan senasib sepenanggungan penuh kemurnian. Mereka melangkah tanpa ragu karena mereka telah menjalin kesetiaan dan senantiasa menaungi titian-titian perjalanannya dengan naungan mahabbah (cinta kasih) dalam pengertian yang luas.

Keindahan konsep seperti ini di perkuat oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam sebagaimana yang diriwayatkan Asy-Syaikhani sbb:
“Manusia itu ibarat barang tambang seperti logam emas dan perak, terpandangnya mereka ketika  masa jahiliyah akan terpandang juga ketika masa Islaminya jika mereka telah faqih (memahami), adapun ruh-ruh mereka itu ibarat lasykar tentara yang berkumpul, maka yang saling mengenal akan intim sedangkan bagi mereka yang tidak saling mengenal akan berceceran” (HR. Bukhari)
Sesungguhnya yang dimaksud ukhuwwah Islamiyah di sini adalah bahwa setiap individu mampu memelihara saudaranya dengan rasa saling cinta dan kasih sayang, dan  ia mampu melaksanakan hak-hak saudaranya (dengan baik) meskipun tidak mendapat imbalan materi dengan tindakannya itu. Hal ini terjadi karena ia bekerja karena Allah Shubhana wata’ala dn mengembalikan semua kepada keimanannya dengan mengharap pahala dan balan dari-Nya.
Allah Shubhana Wata’ala berfirman:
“Yang menfkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya. Padahal tidak ada seorangpun member nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhoan Rabb-nya Yang Maha Tinggi” (QS. Al-Lail:18-20)
Dengan demikian maka kedudukan ukhuwwah Islamiyah itu lebih tinggi dari hanya sekedar maslahat dan dari hanya sekedar batas-batasan keunggulan materi.


Dr. Yusuf Qardhawie dalam bukunya Al-Mujtama’Al-Islamie mengatakan bahwa ukhuwwah Islamiyah yang bercita-cita luhur itu mempu melahirkan Al-ikhaa’ul islamie. Dan tujuan terpenting daripadanya adalah persamaan hak (al-musaawah), saling membantu (at-Ta’aawun), dan cinta kasih karena Allah (al-hubbfillah).

Persamaan Hak

Persamaan hak dalam arti bahwa untuk keleluasaan persaudaraan (kawan akrab) masing-masing pribadi harus menanggalkan rasa fanatisme jahiliyah, dan meleburkan kepentingan-kepentingan pribadi yang dapat memisahkan kebangsawanan, keturunan, kekayaan dan kehormatan sehingga mereka berpecah-pecah berdasarkan jenis dan warna kulit, yang mana semua itu merupakan perpecahan yang dapat membentuk manusia saling bertentangan, berada dalam kegelapan dan kedzaliman ummat manusia serta didominasi oleh hawa nafsu.

Allah Shubhana Wata’ala berfirman :
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulias di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujuraat :13)
Rasulullah bersabda :
“Hai umat manusia! Sesungguhnya rabb kalian itu esa adanya, dan nenek moyang kalian itu satu adanya, tidak ada keutamaan bagi bangsa Arab terhadap yang bukan Arab, tidak pula bagi kulit putih terhadap kulit berwarna kecuali atas dasar taqwa. Kalian semua dari Adam, dan Adam diciptakan dari tanah, sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa di antara kalian”
Islam memperkokoh prinsip kebersamaan diantara kaum muslimin, mereka semua dinilai dari satu sudut padang, sehingga mereka itu dipandang sama menurut syariat, yakni dalam hal tanggung jawab dan kemampuan-kemampuanya dalan memikul kewajiban syar’i serta dalam masalah balasan terhadap apa yang telah dia kerjakan. Islam tidak membeda-bedakan di antara mereka, misalnya sana dalam masalah kewajiban menunaikan shalat dan haji maka Islam tidak memisahkannya antara si kaya dan si miskin, antara kewajiban hakim dan mahkum (pemerintah dan rakyat), dan tidak pula antara kewajiban si kulit putih dan si kulit hitam (berwarna), baik hal ini menyangkut masalah tanggung jawab maupun sanksi hukumnya.
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda :
“ Demi Allah. Andaikan Fatimah puteri Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam mencuri pasti akan kupotong tangannya”
Merupakan contoh nyata dalam perbuatan yang menyangkut persamaan hak dalam sejarah Islam adalah kasus yang terjadi antara Abu Dzar dan Bilal yang sedang memperdebatkan suatu permasalahan di hadapan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam, karena marahnya sampai-sampai Abu Dzar berkata:” Hai anak (si kulit) hitam!” “Seketika itu juga Nabi SAW menegurnya:” Hentikan segera, hentikan segera…! Sekali-kali tidak ada kelebihannya satu dengan yang lainnya bagi si kulit kecuali dengan amal shaleh”
Abu Dzar baru sadar setelah kemarahan Nabi SAW. Ia menyesali perbuatannya, dan meletakan pipinya di atas tanah seraya berkata kepada Bilal:” bangunlah….,maka tempelenglah pipiku”

Suatu ketika Suhail bin Amru, Harits bin Hisyam, Abu Shafyan bin Harb, dan pembesar-pembesar Quraisy telah berdiri di depan pintu Umar bin Khattab, akan tetapi ternyata Umar lebih suka mempersilahkan tamu lainnya yaitu Syuhaib bin Ar-Rumi dan Bilal Al-Habsyi yang keduanya adalah tergolong fakir miskin untuk terlebih dahulu diizinkan masu kedalam rumahnya.

At-Ta’aawun

Bantu membantu merupakan salah satu sikap mulia yang Nampak diantara sikap-sikap baik lainya memancar dari “persaudaraan Islam”. Allah Shubhana Wata’ala memerintahkan orang-orang untuk saling tolong menolong sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya :
“Dan tolong menolonglah kamu (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS, Al-Maidah :2)
Rasulullah juga telah menggambarkan bagaimana seharusnya ummat Islam itu terpadu, maka beliau menyebutkan bagaikan suatu bangunan.
“Setiap mukmin yang satu bagi mukmin lainya bagaikan  suatu bangunan, satu di antara lainnya saling memperkokoh”
Dalam sejarah hidup manusia belum oernah ada suatu masyarakat yang ditegakan atas dasar ta’aawun, sebagaimana yang telah terjadi antara kaum Anshar dan Muhajirin yaitu prinsip ta’aawun yang berdasarkan cinta kasih penuh kemuliaan. Karena kecintaan terhadap saudaranya yang berdasar pada iman dan taqwa maka kaum Ashar rela sepenuh hati membantu segala keperluan kaum Muhajirin, sehingga akhirnya mereka bersatu dalam bangunan”Masyarakat Islam” pertama di Madinah.
Sebuah hadits diriwayatkan Bukhari, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda:
“Setibanya kaum Muhajirin di Madinah, maka Rasulullah segera mempersaudarakan Abdurahman bin Auf dengan Sa’ad bin Ar-Rabi’. Ketika itu kepada Abdurahman, Sa’ad berkata:”Aku termasuk orang Anshar yang banyak kekayaan, dan kekayaanku akan ku bagi dua, setengahnya untuk Anda dan setengahnya untukku. Aku juga mempunyai dua orang istri, lihatlah mana yang Anda sukai, sebutkan namanya, maka ia akan segera aku ceraikan dan setelah usai masa iddahnya Anda kupersilahkan nikah dengannya” Abdurahman menjawab:”Semoga Allah memberkahi keluarga dan kekayaan Anda. Tunjukkan saja kepadaku letak pasar di kota Anda?”
Kemudian kepada Abdurrahman bin Auf ditunjukkan pasar Bani Qainuqa. Dan ketika ia pulang ternyata dia sudah membawa gandum dan samin. Dan untuk seterusnya ia berdagang di pasar tersebut.
Dan yang merupakan kesempurnaan ta’aawun di antara ikhwan adalah ikhlas terhadap saudaranya dalam hal menasehati, berbuat jujur kepadanya, tidak menipunya dan menemaninya dengan akrab tanpa mempermasalahkan cacatnya (cacat fisik).

Aktivitas lain dari ta’aawun adalah berupa mencegah gangguan yang menimpa saudaranya selama dimungkinkan selalu memberikan pertolongan kepada saudaranya terhadap apa yang diperlukan. Sesungguhnya Allah Shubhana Wata’ala itu penolong hamna-Nya, dan hamba sendiri dalam hal pertolongan saudaranya atau sebaliknya (saling tolong menolong).

Termasuk Ta’aawun menolong saudaranya dalam hal mencegah terhadap perbuatan dzalim.

Rasa Cinta karena Allah

Cinta karena Allah itu mempunyai beberapa tingkatan. Tingkatan yang paling rendah adalah berlapang dada dan saling menghormati sesame ikhwan. Tidak patut seorang mukmin untuk memendam rasa saling iri terhadap yang lainnya yang bukan pada tempatnya, atau karena saling mendengki karena kesuksesan orang lain. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda:
"Hindarilah kamu daripada (sifat) dengki, karena dengki itu akan memusnahkan segala amalam baikmu bagai api yang menghanguskan kayu" (HR Abu Daud)
Akan tetapi rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam memperbolehkan dengki akan dua hal, yaitu sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan Bukhari :
"Tidak boleh dengki kecuali dua hal, (yaitu) seorang yang diberi Allah Shubhana Wata'ala kekayaan dan dipergunakannya kekayaan itu untuk mempertahankan yang hak, dan kepada seorang yang di beri Allah ilmu yang dengan ilmu itu diajarkan dan diamalkannya" 
Tingkatan lain yang menunjukan "rasa persaudaraan" adalah seseorang mengharap kebaikan saudaranya terhadap dirinya, dan berusaha melakukan kebaik-kebaikan kepada saudaranya tersebut seperti yang diharapkan untuk dirinya itu.
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda:
"Tidaklah (sempurna) iman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya itu seperti ia mencintai dirinya sendiri" (HR Bukhari Muslim)
 Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam telah menceritakan perihal orang-orang yang mengadakan persaudaraan karena Allah dengan kasih sayang dan kebaikan. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda:
"Sekuat-kuat ikatan iman adalah persaudaraan karena Allah, cinta karena Allah dan membenci karena Allah"
(HR Thabrani dari Ibnu Abbas)
Dalam hadits yang panjang perihal 7 golongan yang akan mendapat naungan (lindungan) Allah, antara lain adalah :
"Dua orang yang saling mencintai karena Allah, dimana keduanya berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah pula" (HR Bukhari Muslim)
Dalam hal kasih sayang, dapatlah diambil contoh bagaimana para sahabat rasulullah saling menaruh rasa kasih dan sayang di antara mereka sekalipun mereka dalam keadaan yang sangat mengancam keselamatan dirinya. Kisah ini terjadi ketika perang yarmuk, yaitu antara Ikrimah, Suhail bin Amru dan Harits bin Hisyam. Di waktu mereka dalam keadaan kritis (karena terluka dalam peperangan) kepada mereka disampaikan minum akan tetapi mereka semua menolak karena saling ingin mendahulukan saudaranya sehingga akhirnya mereka semua syahid karenanya. Ketika minum itu ditawarkan kepada salah seorang di antara mereka, ia berkata:"Berikan saja minum itu kepada si fulan"...sampai akhirnya mereka gugur semua sedang mereka belum sempat meminumnya. Ketika Ikrimah menerima air tersebut, ia sempat melihat Suhail, kemudian ia berkata:"Berikan saja kepada Suhail dulu." Ketika Suhail, hendak minum, ia sempat melihat Harits memperhatikannya, kemudian ia berkata:"Berikan saja pada Harits dulu." Namun belum pun sampai air itu kepada Harits, iapun keburu gugur.

0 komentar:

Posting Komentar

Ayat-Ayat Suci Al-Qur'an

Tukar Link

   Mencari
Ridho Illahi
tips blog info blog dll
Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net SEO Stats powered by MyPagerank.Net

Radio Muslim

Info Site

Flag Counter